Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:
Untuk mengetahui batasan-batasan pergaulan Muslim dan non Muslim, maka panduan kita adalah Al Quran dan As Sunnah, sebagai rujukan tertinggi umat Islam dan pedoman hidup bagi kaum Muslimin. Bukan pemikiran untung rugi masing-masing manusia yang subjektif.
Perayaan Keagamaan Adalah Wilayah Aqidah Bukan Muamalah
Persepsi ini harus dibangun dalam pemikiran kaum Muslimin, bahwa perayaan keagamaan adalah masalah aqidah, bukan masalah muamalah (hubungan interaksi sosial), bukan pula budaya. Dalam masalah aqidah kita memiliki batasan-batasan yang jelas, yakni:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun (109): 6)
Tidak sedikit kaum Muslimin yang keliru dalam menempatkan teks-teks agama. Mereka berdalih dengan ungkapan: Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ungkapan ini benar jika ditempatkan dalam hubungan sosial, seperti pinjam meminjam, hutang piutang, kerja sama dalam kebaikan sosial, dan yang semisalnya. Dalam hal ini Islam sangat membuka diri dan luwes. Bahkan dalam hukum Islam, kaum kafir dzimmi mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam dan masyarakatnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali jika mereka mengumumkan perang terhadap umat Islam.
Nah, mari kita lihat bagaimana Al Quran dan As Sunnah menyikapi perayaan hari besar keagamaan non Muslim.
Kesetiaan (Wala’) Kaum Muslimin Hanya Kepada Allah, RasulNya, dan Kaum Muslimin
Kita lihat ada sebagian kaum Muslimin yang begitu enggan dengan undangan sesama Muslim, ajakan saudaranya, dan acara sesama umat Islam, seperti majelis ta’lim dalam rangka menggali ilmu-ilmu agama. Tetapi anehnya, mereka bersemangat dengan ajakan dan undangan orang kafir kepada mereka. Sungguh aneh! Mereka pun merasa bangga dengan kebersamaannya dengan orang-orang kafir tersebut. Persis seperti yang Allah Ta’ala sindir dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa (4):139)
Ayat lainya:
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan mereka orang-orang yang ruku’ (tunduk). (QS. Al Maidah (5): 55)
Ayat lainnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5) : 51)
Apakah makna wali ? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan kekasih.[1] Bisa jugabermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).[2]
Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.